05:59 pm


Kemampuan yang tidak seperti orang normal ini mulai menggangguku. Aku kini harus lebih berhati-hati jika berbicara dengan seseorang, apakah dia nyata atau tidak nyata. Aku kini sama sekali tidak bisa memejamkan mata apabila penerangan dalam kamarku gelap, dan yang paling parah adalah karena aku selalu bermimpi buruk tiap malam mengenai hal yang kulihat di dunia nyata.

Hal ini tidak terjadi sedari aku kecil dan masa kecilku normal-normal saja. Kemampuan itu bermula ketika peristiwa antara hidup dan mati menimpaku saat aku berumur lima belas tahun. Saat itu bus sekolah yang biasa kunaiki meluncur masuk ke dalam jurang dengan ketinggian sepuluh meter. Beruntung aku dapat selamat karena tertahan oleh sabuk pengaman yang menjeratku agar tetap di tempat. Pada saat itu badanku terbentur oleh suatu benda –yang kebetulan sama sekali tidak aku ingat- dan menyebabkan pendarahan pada organ dalam tubuhku. Dokter yang membedahku terpaksa menghentikan jantungku sesaat, agar mereka bisa mengoperasi dan menyembuhkanku. Satu menit enam belas detik. Itu adalah lama waktu disaat aku mati.

Continue reading

Di Ujung Jalan


Kata kunci: Pohon beringin, jejak, putih, senter, darah.

Setting tempat: Terowongan.

Jumlah kata: 663

 

Jo melajukan civic putihnya dengan kecepatan hampir seratus kilometer per jam. Jalanan di pukul dua dini hari terbilang lengang. Ini adalah kali ketiganya dalam seminggu ini ia harus lembur di tempat kerjanya. Di persimpangan jalan mobilnya berbelok ke kiri, mengambil jalan pintas melalui terowongan. Karena itu adalah jalan tercepat untuk sampai ke rumahnya. Terowongan itu terkenal angker, tetapi rasa lelah yang dirasanya membuatnya tidak memilih jalan panjang yang setiap hari selalu dilaluinya.

Sebuah pohon beringin besar menyambutnya di muka terowongan. Ia memelankan laju kendaraannya sampai setengahnya saat ia mulai memasuki terowongan itu. Sebuah panggilan masuk mendarat di telepon genggamnya. Jo melirik sekilas untuk tahu siapa yang menelponnya. Ternyata dari Shinta, pacarnya.

“Halo, sayang? Kok belum tidur?” tanya Jo setengah mengantuk.

“Sudah. Ini kebangun aja langsung ingat kamu. Gimana laporannya? Beres?” Continue reading

Jimmy Surya Pradipta


Adi menatap sebuah surat penangkapan dirinya dengan lemas. Jelas-jelas disana tertera namanya, Jimmy Surya Pradipta. Ia menatap kosong pada salah satu titik di ruang introgasi tersebut. Pengacaranya sibuk berceloteh tentang semua pasal yang tidak ia mengerti.

Ruangan itu dingin dan sedikit lembab. Sebuah kaca besar terbentang di hadapannya. Memenuhi salah satu sisi ruangan itu. Ia tahu itu adalah sebuah kaca dua arah, dimana seseorang dibalik sana sedang menunggunya untuk melakukan kesalahan. Lalu kemudian memaksa salah satu petugas di hadapannya untuk melakukan segala cara agar Adi bisa membuka mulutnya. Mengenai seseorang yang ia cintai. Seseorang yang akan terus ia lindungi sampai kapanpun.

“Jadi… kamu mungkin sudah tahu mengenai prosedurnya. Hari ini statusmu masih sebagai saksi. Tetapi besok, saat surat itu benar-benar sampai di tanganmu. Kamu adalah tersangka utama kasus kami.” Jelas petugas itu. Continue reading

Hitam Putih Oktober


Stany meniup permukaan cokelat panas pada mug kaca yang dipegangnya. Ia selalu memesan menu yang sama di kafe itu. Sebuah kafe yang selalu menjadi tujuannya dikala santai atau apapun. Kadang ia pun sering menyelesaikan desain gambarnya di  Caffè Nero dengan ditemani oleh Rafa dan Andre. Teman setimnya.

Langit di luar mendung sejak tadi pagi. Tapi tampaknya, awan-awan kehitaman itu enggan membagi tangisnya.

Lampu di dalam kafe itu berkedip beberapa kali. Stany melihat ke arah sebuah lampu yang tepat di atas kepalanya. Ia melihat ke arah orang-orang yang berada di sana. Tapi tidak seorang pun yang memedulikan kerlipan lampu itu.

Ah… sudahlah. Pikirnya.

Garis demi garis ia tambahkan dalam lembaran file AutoCAD-nya, sambil sesekali terdiam saat ia memikirkan sebuah ide baru. Stany begitu larut dalam pekerjaannya, sampai-sampai ia tidak menyadari saat seorang anak kecil duduk di hadapannya.
Continue reading

Sekantong Baju Basah


Cleo menghempaskan tubuhnya pada bangku kayu di pinggir danau. Penatnya bertumpuk selama seminggu ini. Tugas kuliah, event organisasi, proyek pribadinya, serta pertengkarannya dengan kakak kandungnya. Ponsel pintarnya begetar pelan, tanda sebuah pesan masuk.

 

Dari: Kak Tiara <0899211XXXXX>

Cleo, kamu dimana? Sudah malam, ayo pulang. Maafkan kakak ya, soal permintaan kamu untuk pergi ke Jakarta akan kakak pertimbangkan.

 

Cleo melirik sekilas, lalu mengunci kembali ponselnya dan tidak membalas pesan itu. Cleo merasa seminar yang akan dihadirinya di Jakarta itu penting baginya. Namun kakaknya terlalu khawatir karena Cleo harus pergi jauh. Terlebih lagi Malang – Jakarta bukanlah jarak yang singkat. Cleo sejak tadi pagi berdebat panjang dengan kakaknya, dan akhirnya ia memilih untuk pergi dan menenangkan diri di sebuah danau yang jaraknya tidak jauh dari rumahnya.

Sebuah danau yang tenang dan hanya sedikit saja orang tahu tentang tempat itu. Tempat yang biasa Cleo kunjungi ketika sedang penat dan ingin mengistirahatkan pikirannya.

Sebuah langkah kaki pelan terdengar samar ketika Cleo menutup kedua matanya dan bersandar pada bangku kayu itu. Cleo pikir itu pastilah orang-orang yang sering datang ke danau itu dan bangku yang ia tempati pun agak tersembunyi dari jalan setapak. Ia terus bersandar tenang pada bangku itu, mengeyahkan pikiran negatifnya. Pikirannya melayang-layang kembali. Pada seminar itu. Pada kakaknya. Serta pada semua target mimpinya. Continue reading

(Bukan) Milikku


Matahari siang di bulan September bersinar dengan teriknya. Gelombang tenang ombak Pantai Pangandaran memantulkan cahaya matahari ke semua arah, termasuk mataku. Menyilaukan.

Aku kembali teringat peristiwa setahun yang lalu. Saat aku dan kamu berlarian mencoba menerbangkan sebuah layang-layang di tepi pantai ini. Kita begitu bahagia. Tak memedulikan perihnya tubuh kita masing-masing yang tersengat matahari.

“Lautnya bagus ya.” katamu saat itu, setelah kita kehabisan nafas berlarian menantang panas yang menyengat.

“Silau ah, Rasya.” timpalku.

Kamu tersenyum ke arahku. “Bagus kok. Menurutku laut tampak indah bukanlah pada malam hari melainkan pada siang hari, saat ombak membiaskan cahaya matahari. Dan kadang itu seperti kamu, Indah. Terlalu menyilaukan.”

Saat itu aku tidak mengerti sama sekali apa maksudmu. Baru kemudian sebulan setelah itu kamu pergi dan memutuskan komitmen kita. Dan kamu bilang, “Kamu terlalu membutakan mataku. Aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih jika dekat denganmu.” Continue reading

#8 Ramai


Aku memperhatikan dengan seksama seorang ibu dan anak perempuan kecilnya tengah berjalan dengan riangnya di jalanan Malioboro yang ramai ini. Beberapa kali genggaman putrinya terlepas tanpa sengaja, lalu beberapa saat kemudian mereka kembali bergandengan tangan.

Sang ibu tengah asyik dengan dunianya sendiri. Memilih beragam jenis batik berwarna-warni yang tengah dihamparkan oleh seorang pelayan toko padanya dan juga pada rombongan lainnya. Tangannya sigap memilih pakaian kebanggaan Indonesia itu. Tangan kanannya tetap saja mengaduk-aduk batik obralan itu sementara di tangan kirinya telah penuh dengan pilihannya. Kini anak perempuan itu mengalah. Ia membiarkan ibunya tenggelam dalam euforia sementara ia merasa tersesat di dunia lain. Satu-satunya yang bisa ia Continue reading

#5 Sepanjang Jalan Braga


Pram duduk di salah satu cafe di Jalan Braga sambil menghilangkan pegal pada kakinya sambil menatap dalam mata seseorang di depannya. Ia kembali dijebak oleh mahkluk manis yang selalu bergelayut manja padanya setiap waktu. Setelah perjalanan yang melelahkan pada minggu lalu ke kota Padang, kini ia harus menyusuri seputaran Bandung dengan berjalan kaki, gara-gara Ayu bilang cuaca hari ini sejuk dan bagus untuk berjalan-jalan.

“Pram, sejuk ya udaranya. Jarang-jarang jam segini Bandung sejuk.” Seru Ayu memecahkan suasana.

Ternyata betul, Ayu memang tidak bisa diam. Selalu saja melompat kesana kemari dan berceloteh tidak ada habisnya. Padahal ia baru saja mendapatkan ketenangan selama lima menit saja. Continue reading

#2 Pagi Kuning Keemasan


Aku menggenggam sejumput pasir putih di tepi pantai. Dengan cepat pasir itu lolos dari sela-sela jariku. Tak jauh dari tempatku berada, sebuah mercusuar menjulang tinggi menantang langit Pulau Lengkuas yang berwarna biru cerah. Dan hamparan batu granit yang digunakan oleh beberapa turis domestik maupun mancanegara untuk sekedar beristirahat menikmati pemandangan indah yang sama sekali tidak bisa didapat di ibukota.

“Della, ayo kemari. Air lautnya bening, sampai-sampai bintang lautnya terlihat jelas.” Panggil Geri.

Aku berdiri dan melangkah mendekatinya. Terpaan lembut angin dan kicauan riuh burung-burung membuatku lupa bahwa aku kini berada di dunia nyata bukannya di alam mimpi. Continue reading

Ssstt!! Jangan Bilang Siapa-siapa!


Sebuah anak panah mainan yang terbuat dari plastik berwarna kuning melesat cepat ke arahku. Dengan sigap aku langsung menghindarinya dengan berjongkok di lantai keramik rumahku yang dingin. Sang pemanah terkikik perlahan melihat gerakanku dan siap-siap melancarkan serangan keduanya.

Aku mengangkat tangan kananku ke udara, “stop, dek. Kakak istirahat dulu ya.” Kataku sambil terengah.

Sudah sejak setengah jam yang lalu aku menemani adik kecilku yang usianya beda enam tahun denganku. Ia masih saja lincah bergerak kesana kemari. Padahal sebelum bermain denganku, ia baru saja menyelesaikan sesi bermain layangan dengan teman sebayanya di lapangan.

Ia bertolak pinggang, “Ah… kakak payah. Alan kan masih pengen main.”

“Iya, bentar ya dek. Kakak mau minum dulu ah. Kakak kan baru pulang sekolah tadi, tapi langsung diajak main aja.” Continue reading