[14] Ini Bukan Judul Terakhir


Aku memasuki sebuah bangunan modern di daerah Jakarta Barat dengan menggenggam tangannya. Aku menyeret troliku di sepanjang bangunan luas itu. Bunyi dengungan yang berasal dari mesin pesawat terdengar beberapa kali, dan getarannya menyebabkan lantai tempatku berpijak terasa bergoyang samar.

Selembar tiket pesawat terlipat rapi pada saku jaketku. Rutenya selalu sama setiap bulan, Jakarta – Surabaya. Menuju tempat yang dulu ku sebut rumah. Tapi kemudian bangunan sederhana dengan halaman yang asri itu, semakin lama semakin terasa asing bagiku.

Kau menggenggam tanganku erat, seolah-olah tidak akan pernah bertemu lagi denganku. Panggilan terakhir diumumkan oleh seorang wanita bersuara merdu pada pengeras suara di bandara itu. Kau mempererat cengkeramanmu padaku. Sebutir air mata muncul dan mengalir membasahi pipimu yang bersemu merah karena sejak tadi menahan tangis.

“Ini bukan judul terakhir dari kisah kita, sayang.” Kataku menenangkannya.

Ia kemudian memelukku erat. Menahan tubuhku supaya tidak meninggalkannya pergi.

“Jangan pergi. Tundalah keberangkatanmu.” Ucapnya lirih.

Sekali lagi pengeras suara itu mengingatkan tentang penerbanganku.

“Sabar ya. Kita akan bertemu lagi secepatnya. Setelah aku menandatangani surat ceraiku.” Balasku sambil mengecup keningnya dan berlalu pergi. Dari jauh kulihat ia melambai. Tapi kini seulas senyum tampak cerah terlihat dari bibirnya. Dialah rumahku saat ini.

Protected by Copyscape Plagiarism Checker

8 thoughts on “[14] Ini Bukan Judul Terakhir

    • Komentar dari cewek pasti begitu… tega. Tapi liat dua komentar cowok2 diatas, mereka setuju sepertinya :p

      Hahaha… ini cuma cerita aja kok. Mudah2an tidak terjadi dengan siapapun 🙂

Leave a reply to myalizarin Cancel reply