The Hangman – Chapter 4


Oleh : Tammy Rahmasari

Ia tidak mengerti akan perasaan yang ia sedang ia rasakan sekarang. Tidak ada lagi rasa kehilangan, tidak ada lagi rasa duka, tidak ada lagi rasa rindu, yang ada hanya kekosongan dalam hatinya yang selalu ia rasakan mulai dari saat ini sampai kapanpun.

Kemarin malam, saat ia telah tidur dengan lelap. Ia terbangun oleh suara dentuman keras yang menghalau mimpinya untuk kembali sehingga mengakibatkan kepalanya pusing selama beberapa saat karena perubahan suasana. Ia mendengarkan sekeliling dalam gelap, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.  Ia menyangsikan apakah suara yang tadi ia dengar itu nyata atau hanya tercipta dari dalam kepalanya saja.

Dengan ragu-ragu ia menjejakkan kakinya di lantai yang dingin. Ia tidak mempedulikan dinginnya udara malam saat ia membuka  tubuhnya dari bungkusan selimut yang tadi ia kenakan. Ia teringat akan ibunya. Kamar ibunya terletak di lantai dua sedangkan kamarnya berada di lantai satu. Ia harus melihat ibunya terlebih dahulu dan juga untuk memastikan ia baik-baik saja. Di akhir pekan seperti ini, biasanya di rumah ini hanya ada ia dan ibunya. Ayahnya selalu pergi entah kemana dan akan kembali pada hari minggu malam.

Ia melangkahkan kedua kakinya yang kecil untuk berjalan tanpa menimbulkan suara. Ia tidak berani mendekati saklar lampu untuk menyalakan lampu kamarnya. Ia takut jika memang ada sesuatu yang sedang terjadi di dalam rumahnya dan seseorang mengetahui bahwa ia telah terbangun. Ia teringat akan pistol revolver ayahnya yang ia simpan di dalam ruangan kerjanya. Ia tahu dimana ayahnya meletakkannya, terakhir kali ia mencoba bermain dengan pistol itu, ia berakhir dengan luka lebam di mata kanannya akibat dipukul dengan keras oleh ayahnya. Kala itu ia tidak bisa membuka matanya selama satu bulan tanpa nyeri, perih, dan panas pada matanya.

Ia membuka daun pintu kamarnya dengan perlahan, berusaha tidak menimbulkan bunyi yang dapat menyebabkan jejaknya diketahui. Ia melihat sekeliling dari celah pintu yang terbuka sedikit. Dari pintu kamarnya yang di ujung sisi sebelah kiri ia memperkirakan diperlukan paling sedikit lima puluh langkah untuk dapat mencapai ruang kerja ayahnya. Ia hapal dengan keadaan di rumah ini dan semoga ia dapat melakukannya tanpa diketahui oleh siapapun.

Ia melangkah selangkah demi selangkah dalam kegelapan. Sejauh ia melangkah, ia tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Ia terus berjalan sambil melihat kearah pintu kamar ibunya di lantai dua yang terbuka sedikit. Dari celah pintu tersebut ia dapat melihat seberkas cahaya yang memancar di tengah kegelapan ruangan disekitarnya. Ia lalu mendengar benda berderit dari dalam kamar ibunya. Ia mengira ada seseorang yang menyadari keberadaannya. Dengan panik ia mencari benda yang dapat menyembunyikan tubuhnya. Ia berlari cepat sambil berusaha tetap tidak menimbulkan bunyi untuk dapat menjangkau lemari di dekat pintu ruang kerja ayahnya.

Saat ia tinggal selangkah lagi menuju lemari itu, ia terantuk oleh sepatu yang diberikan oleh ibunya saat ulang tahun ketujuhnya di tahun lalu. Dalam sedetik ia menimbulkan bunyi berdebum keras pada lantai kayu di tempatnya sekarang berada. Dengan cepat ia bangkit kembali tanpa mempedulikan sakit pada kakinya yang menyebabkan ia harus berjalan dengan tertatih-tatih sehingga pada saat ia telah mencapai pintu, ia langsung membuka pintu ruang kerja ayahnya, lalu menutup dan menguncinya.

Ia meraih saklar lampu yang tinggi pada ruangan itu dengan menaiki kotak yang tersimpan dibawahnya. Seketika cahaya menerangi ruangan dengan cepat dan menyebabkan kilau beraneka warna terlihat dimatanya. Ia memberikan waktu beberapa detik untuk membiarkan matanya agar beradaptasi lalu kemudian ia mulai menuju meja kerja ayahnya yang hanya tinggal beberapa langkah lagi hingga dapat dijangkaunya.

Tanpa jeda waktu ia langsung membuka laci kedua dari meja tersebut dan mencari kotak hitam tempat ayahnya menyimpan revolver-nya. Ia meraba ke dalam laci tersebut, mengeluarkan isi yang tidak diperlukan tanpa peduli apa kata ayahnya nanti jika melihat ruang kerjanya berubah berantakan. Setelah mencari beberapa saat, akhirnya ia menemukan kotak hitam itu di dasar laci. Dengan cepat ia membukanya. Tetapi, apa yang ditemukannya telah membuat semangatnya lenyap tak bersisa.

Pistol itu tidak ada ditempatnya.

Hatinya berteriak disusul rintihan putus asa yang menyebabkan air matanya merebak. Ia baru saja berusia delapan tahun. Belum siap dengan kejadian semacam ini. Kini ia hanya bisa pasrah jika terjadi sesuatu pada dirinya dan ibunya. Tubuhnya gemetar saat ia membuka pintu. Ia melihat ke lantai dua dimana kamar ibunya berada.

Apakah orang itu menyadari kehadiranku dan sekarang sedang mencariku? Tanyanya dalam hati.

Kini pintunya telah terbuka sepenuhnya sehingga membuat cahaya lampu pijar dari ruangan tersebut melebar ke sekelilingnya. Ia memiliki dua pilihan, berlari sekencang-kencangnya menuju pintu utama di seberang ruangan tempatnya berdiri, atau menyerahkan nasib dengan mencoba menolong ibunya.

Bukan hal yang tidak mungkin ia akan tertangkap jika melarikan diri. Jika memang ada seseorang yang memasuki rumah ini, ia pun dapat keluar dan memburunya. Ia bukanlah ahli strategi seperti ayahnya. Tapi ia harus mencoba, karena mungkin tidak ada waktu untuk kesempatan kedua.

Ia mulai berjalan kearah tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua. Ia sedikit mengerti mengenai rumah ini. Di setiap pijakan anak tangganya akan berderak jika diinjak pada bagian tengahnya. Maka ia dengan hati-hati menaiki setiap anak tangga pada sisi yang paling kiri yang bersentuhan dengan dinding.

Jantungnya melompat-lompat tidak keruan saat ia mencapai anak tangga teratas. Ia mencoba mendengarkan dengan seksama suara dari kamar tersebut. Pada awalnya memang tidak ada yang dapat ia dengar, tetapi saat ia mencapai pintu kamar itu, ia mendengar suara berderak diikuti dengan perasaan ngilu pada tubuhnya. Seakan-akan ada seseorang sedang memotong suatu benda berkali-kali dengan keras.

Saat ia mencapai pintu, ia berjinjit untuk melihat ke dalam ruangan itu. Belum sampai ia selesai melakukan rencananya ia mendengar seseorang berbicara dengan nada yang dikenal olehnya dari dalam kamar.

“Masuklah, Jace. Pelajaran pertamamu telah dimulai.”

Ia seakan-akan terhipnotis mendengar suara itu. Ia telah mengenal pemilik suara itu sejak lama. Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya menuju ruangan itu untuk mendekatinya.

Dinding kamar ibunya yang tadinya berwarna putih, kini telah terciprati dengan cat berwarna merah. Ia melihat ayahnya membungkuk pada sesuatu di seberang ruangan. Tetapi ia tidak dapat melihat dengan jelas karena terhalang oleh ranjang yang terletak di tengah kamar itu. Dilihatnya ayahnya mengacungkan sebilah pedang yang telah terkena cat merah itu pada benda yang terletak di lantai. Suara berderak itu kembali muncul. Membuat ngilu hatinya.

Jace melangkah dengan gontai. Ia memutari ranjang untuk dapat melihat lebih jelas. Saat mulai berjalan, ia melihat revolver ayahnya di meja kecil yang terletak di samping ranjang. Kali ini ia tidak berusaha mendapatkannya. Ia hanya terus berjalan mendekati ayahnya.

Air matanya sedikit demi sedikit mengalir saat Jace mendekati ayahnya. Ia melihat tubuh ibunya yang telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian. Suara dentuman yang tadi didengarnya ternyata memang berasal dari pistol ayahnya yang ditembakkan ke kepala ibunya, itu terlihat dari lubang menganga yang dihasilkan oleh tumbukan peluru pada tengkorak kepalanya. Ayahnya melihat kearahnya sekilas lalu kembali bersenandung bait lagu yang ia tidak kenal dan kembali menekuni pekerjaannya lagi.

“Mulai hari ini, hidupmu hanya milikku.” Kata ayahnya pelan.

Jace kini mengerti, warna merah di dinding itu bukanlah berasal dari cat. Melainkan darah yang berasal dari ibunya. Ia juga dapat mencium bau kematian yang mengambang di udara dalam kamar itu.

Ia kembali menekuni pekerjaannya. Pagi tadi saat matahari belum terbit ayahnya memerintahkan padanya untuk membuat lubang di halaman belakang. Mungkin lubang ini akan menjadi tempat terakhir bagi ibunya. Setelah tujuh jam berselang, kini air matanya benar-benar telah mengering. Tidak ada waktu baginya untuk berduka setelah apa yang telah dikatakan oleh ayahnya. Ia harus mulai menyiapkan diri untuk segala sesuatu yang akan terjadi padanya. Karena ia tahu keseriusan yang terkandung dalam setiap kata yang dikatakannya tadi malam. Hidupnya bukan miliknya.

***

Dengan cepat Nina memaksakan kedua kakinya untuk berlari. Ia tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu karena sedikit titik terang mulai menyinari kasus yang ditanganinya. Menurut informasi yang diterima oleh Lutz, ada seseorang yang hilang baru-baru ini yang mungkin berkaitan dengan kasusnya. Tadinya ia berniat untuk langsung pulang jika telah selesai dari Dreamland Zone. Tetapi, lagi-lagi ia diharuskan terjaga hingga larut.

Saat memasuki lapangan parkir, kakinya terantuk dan menyebabkan tubuhnya jatuh menghantam tanah. Tanpa disadarinya, sepasang tangan yang ia kira milik Lutz membantunya berdiri. Tetapi, saat ia menoleh ke belakang. Ia mendapati wajah seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya. Walau intensitas cahaya yang sekarang di terima oleh matanya tidak maksimal, ia dapat melihat dengan jelas wajah orang tersebut.

Wajah pria itu biasa saja, tidak jelek ataupun tampan. Tetapi, jika Nina ingin mengingatnya setelah hari ini, mungkin ia akan lupa. Tingginya hampir sama dengannya, hanya saja tubuhnya terlihat berotot di balik jaket longgar yang ia kenakan. Tingginya memang menguntungkan bagi Nina hingga ia bisa diterima di Akademi.

Pria itu belum juga melepaskan kedua tangannya dari tubuh Nina. “Apakah kau baik-baik saja?” tanyanya.

“Iya, aku baik-baik saja. Terima kasih.” Jawab Nina tanpa jeda.

Pria itu tersenyum miring lalu meneruskan jawaban Nina, “baiklah jika begitu. Sampai jumpa.” Katanya singkat.

Pria itu berlalu kearah sisi lain lapangan parkir berlawanan dengan arah datang Nina. Ada sesuatu yang aneh dan tidak pada tempatnya dalam diri pria itu. Nina juga merasakan ketakutan saat pandangan mereka bertemu. Tapi Nina tidak mempedulikannya, kasus yang sekarang ditanganinya jauh lebih penting daripada seseorang yang belum tentu terkait dengannya. Nina  lalu terus berlari menuju mobil Lutz. Disana ia telah ditunggu dengan tidak sabar oleh Lutz.

Mobil Lutz melaju di jalan raya dengan kecepatan maksimal dengan bunyi sirene yang memecah keheningan malam. Jalanan yang dilalui oleh mobil Lutz berjalan tanpa hambatan sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di markas kepolisian.

Begitu kami tiba, mereka langsung bergegas memasuki gedung. Setelah tiba di dalam, Lutz langsung menuju ruangan kepala polisi. Saat ia memasuki ruangan tersebut, ia melihat Abe Mirrh, Melanie Cox, Julia Lee, dan seorang wanita yang tidak dikenalnya yang sedang menangis. Julia Lee adalah seorang jaksa yang terlibat dalam kasus ini. Julia adalah teman lama dari Lutz dan juga ayah Nina. Tanpa basa-basi Lutz dan Nina langsung mengambil tempat di dekat Mirrh.

Keheningan dalam ruangan itu terpecah saat Mirrh mulai angkat bicara. “Lutz. Aparel. Ini adalah Maddie Rayn,”

Maddie yang sadar namanya disebut hanya mendongak sedikit kearah Lutz dan Aparel. Lalu kembali menangis.

“Ia adalah orang yang melaporkan berita kehilangan pada pukul sembilan tadi. Tepatnya tiga jam yang lalu.” Lanjut Mirrh.

“Berita kehilangan? Pelaporan orang hilang hanya berlaku duapuluh empat jam setelah orang tersebut dinyatakan hilang. Apa hubungannya dengan kasus kita kali ini.” Tanya Lutz tajam.

Melanie yang dari tadi hanya diam kini angkat bicara, “Secara kebetulan aku bertemu dengan Maddie di lobi saat ia sedang berdebat dengan salah satu petugas mengenai temannya yang hilang. Jika saja aku tidak pernah melihat pesan yang ada pada korban keempat kita, mungkin aku tidak akan mengambil langkah yang beresiko seperti ini untuk menyelidiki lebih jauh.”

“Maksudmu? Tulisan dari secarik kertas itu?” Lanjut Nina.

“Iya. Tulisan dalam kertas itu ialah AMS yang kebetulan adalah penggalan nama belakang teman Maddie, Sarah Adams.” Jawab Melanie.

“Baiklah—Maddie, coba ceritakan tentang temanmu yang hilang itu.” Tanya Lutz.

“Sarah dan aku seharusnya bertemu di kamar sewaannya,” Ujar Maddie sambil menangis lalu berbicara kembali, “kami saling mengenal karena memiliki terapis yang sama, Dr. Ray. Lalu kami menjadi dekat karena sama-sama telah melalui keadaan yang tidak menyenangkan dimasa lalu.”

“Saat minggu malam biasanya kami bertemu. Enam bulan belakangan ini ia mulai bisa terbebas dari mimpi buruknya. Saat terjadi kasus penggelapan uang yang menyeretnya. Seseorang nasabah yang dendam padanya menguntitnya, mengancamnya, bahkan berusaha membunuhnya. Hanya yang terakhir yang tidak ia ceritakan selain padaku dan Dr. Ray Karena tidak ada seseorangpun yang mempercayainya, bahkan Dr. Ray pun pada awalnya menyangka ia mengalami delusi4. Ia didorong dari lantai enam di tangga kantornya tanpa tahu siapa yang mendorongnya. Lalu Sarah dan keluarganya pernah hampir mati terpanggang di rumahnya sendiri karena kebakaran yang tidak jelas sebabnya. Ia juga pernah beberapa kali mencoba bunuh diri karena emosinya pada saat itu sedang yang tidak stabil.” Lanjut Maddie.

“Jadi hanya karena itu kau memutuskan menulis laporan kehilangan?” Tanya Nina.

Dengan menahan tangis dan amarah Maddie menjawab, “Bukan hanya karena itu saja! Aku sudah menunggunya selama dua jam. Menelepon seperti orang gila pada semua orang. Menanyakan pada Ethan, Sandy, Stacy, bahkan Raul tapi semua orang tidak tau kemana dia berada!” Teriak Maddie dengan emosi.

“Bisa saja dia pergi ke suatu tempat yang kau tidak tahu.” Lutz angkat bicara.

“Benar. Bisa saja ia bertemu dengan seseorang yang tidak dikenal olehmu dan tidak bercerita mengenai hal itu padamu.” Lanjut Nina.

“Tidak. Pokoknya tidak mungkin. Aku tahu ada yang sedang terjadi padanya…” bisik Maddie.

“…walaupun kami baru saja berteman setahun belakangan ini. Tapi kami berdua saling bergantung. Sebisa mungkin memberi kabar pada masing-masing. Tadi juga, pada saat Sarah baru saja keluar dari tempat kerjanya ia mengirim pesan padaku bahwa ia sebentar lagi sampai di rumah.”

“Tunggu.” Kata Nina sambil mengangkat tangan kanannya seperti memberi tanda berhenti, “Jika memang ia sempat mengabarimu sebelumnya, ini patut dicurigai jika ia memang diculik atau menghilang.”

“Maka dari itu. Tolonglah temukan Sarah.” Pinta Maddie.

***

Lutz menutup pintu ruangan Mirrh sesaat setelah Maddie keluar dari ruangan itu dengan diantar oleh Julia. Lutz melihat kearah Mirrh dan Melanie. Wajah Mirrh tidak dapat terbaca, sedangkan wajah Melanie menunjukkan tanda-tanda kelelahan terlihat dari lingkaran hitam besar di bawah matanya.

Ia menekankan berat tubuhnya ke belakang saat duduk pada kursi di ruangan tersebut. Di sebelahnya Nina sedang menekuni foto Sarah dan juga data-data yang tadi diperoleh dari Maddie. Ia tetap menyangkal Sarah terkait dengan kasus ini hanya karena nama keluarganya sama dengan huruf yang tertera di kertas yang ditinggalkan the hangman. Tetapi, lain dengan dengan rekannya. Ia langsung berubah sikap saat Maddie mulai bercerita tentang Sarah.

“Bagaimana menurut kalian?” Ujar Abe memecah keheningan.

Lutz hanya mengangkat bahunya sambil berkata, “Aku tidak percaya padanya. Kupikir ia hanya paranoid karena kehilangan temannya. Jadi… jangan tanya aku lebih jauh.”

Seketika Nina dengan geram melihat kearah Lutz, “Apa maksudmu? Seharusnya kita menghargai bukti sekecil apapun. Siapa tahu ini dapat membantu kita.”

“Hentikan kalian berdua!” Sela Abe. “Kumohon, fokus pada masalah ini. Ada apa denganmu Lutz? Dalam hal ini, Nina benar. Kita harus melihat segala kemungkinan yang ada untuk menolong korban dengan memecahkan kasus ini.”

Lutz menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan keras.

“Maafkan aku. Aku tidak profesional dengan melibatkan kasus ini dengan masalah pribadiku.” Bela Lutz.

Ini gara-gara mantan istrinya tadi pagi menelepon karena uang tunjangan yang belum ia kirimkan. Ia dan Sheila telah lama bercerai sejak kematian anaknya duabelas tahun yang lalu karena kasus tabrak lari—walaupun begitu ia selalu bertanggung jawab padanya dengan mengiriminya uang tunjangan secara teratur. Sejak saat itu matahari yang selalu berputar dan menyinarinya menghilang dan meninggalkan jejak beku disetiap langkah yang ia pijak. Sean adalah harapan, doa, dan segalanya bagi dirinya. Ia menyayanginya dengan segenap hati dan jiwanya. Sehingga saat kejadian itu terjadi, ia belum siap dengan segala konsekuensinya. Ia jadi tidak mengenal dirinya, istrinya, dan orang-orang disekelilinginya lagi. Orang lain tidak akan pernah mengetahui bagaimana rasa sakit karena ditinggalkan kecuali ia mengalaminya sendiri. Ia dan Sheila menjadi orang asing yang terpaksa hidup dalam satu atap.

Setelah kejadian itu, dua tahun berselang ia kehilangan teman baik, saudara, dan rekannya—Rudy Aparel dalam kasus itu. Bagaikan dua anak panah yang menusuk tepat di jantungnya. Kehilangan yang besar dalam hidupnya. Sehingga perceraiannya dengan Sheila tak terelakan lagi.

“Mirrh, keluarkanlah surat perintah untuk menggeledah rumah Sarah.” Kata Nina yang menyebabkan Lutz terbebas dari lamunannya.

“Tunggu sebentar,” Sela Lutz, “Jika Sarah diculik saat dari tempat kerja menuju rumahnya, kemungkinan ada seseorang yang melihatnya. Di malam akhir pekan seperti ini banyak orang yang berkeliaran apalagi rute jalan yang tadi dikatakan oleh Maddie berada di jalan utama. Jika kita beruntung, restoran itu bahkan memiliki kamera.”

“Lutz benar. Kita harus menyisir daerah tersebut sekarang juga sebelum jejak terhapus.” Tambah Nina.

***

Ia tidak mengira dapat bertemu dengan orang yang sedang memburunya. Ia pernah melihatnya tertangkap kamera stasiun televisi lokal yang menayangkan berita tentang the hangman. Ia bersyukur detektif  itu bertemu dengannya pada saat ia sedang menyamar.

Ia memasuki restoran keluarga yang masih buka pada jam-jam seperti ini. Di dalam ruangan itu, suasananya ternyata lebih ramai walaupun telah larut malam. Ia langsung mencari tempat duduk di ujung belakang kanan restoran tersebut. Saat ia melangkah melewati meja pertama, ia melihat gadis penjual karcis yang berkerja di Dreamland Zone. Jantungnya sempat melonjak sesaat karena kejadian yang tak terduga itu. Tapi kemudian ia sadar, baik gadis itu maupun orang lain yang pernah melihatnya di taman bermain itu, tidak akan mengenalnya. Ia telah mengganti penyamarannya dengan sangat rapi. Ia memperlihatkan wajah aslinya hanya pada calon korbannya. Sebagai bentuk penghargaan karena mereka telah berpartisipasi dan membantu karya seninya.

Tak lama setelah ia duduk di tempat yang telah dipilihnya, seorang pelayan menghampirinya menanyakan makanan yang akan dipesan olehnya. Tanpa pikir panjang ia langsung memesan menu yang terbaca pertama dalam buku menu. Ia duduk berhadapan dengan gadis penjual tiket itu, hanya saja mereka dipisahkan oleh tiga meja diantara mereka. Ia melihat kearah gadis itu tanpa sembunyi-sembunyi. Tetapi, walaupun begitu perhatian gadis itu telah terebut oleh berita dalam pesawat televisi yang sedang ia tonton. Ia melihat sekilas kearah tatapan gadis itu hanya untuk melihat acara apa yang ditonton olehnya dengan serius. Ia lalu tersenyum simpul. Ternyata berita di televisi itu menyiarkan tentang the hangman. Ia tidak percaya, ada yang menamakannya seperti itu. Lucu sekali cara orang-orang itu memberikan nama untuk seorang seniman seperti dia.

Ia tidak dengan sengaja bertemu dengan gadis itu disini. Ia bahkan tidak berniat menjadikannya sebagai korban barunya. Gadis itu telah bersikap baik padanya, berbincang-bincang dengannya. Tetapi, jika ia mengenalinya sedikit saja, ia bisa menjadi sukarelawan untuk bagian marionette-nya.

Sambil menunggu pesanannya datang, ia kembali teringat tentang Sarah. Tadi ia menunggu sampai Sarah tenang. ia sengaja duduk di hadapannya, supaya Sarah terbiasa dengannya. Ia tahu Sarah telah sadar dari sejak awal ia membawanya ke ruangan itu. Perempuan itu bisa dengan tenang tidak bergerak saat dibawa menuju ke ruangan itu. Kala  itu Ia berusaha sekuat tenaga menahan tawanya. Suasana hatinya kembali riang, padahal ini baru setengah jalan dari misinya.

Ia sengaja berlama-lama dengan Sarah, tidak ingin terburu-buru. Cairan pengawet yang ia gunakan pun telah menipis. Ia juga perlu melakukan beberapa persiapan mengenai tempat penggantungan. Sebisa mungkin ia tidak menggantungnya di tempat yang sama dengan tempat yang pernah ia datangi. Untuk kali ini dan seterusnya, ia akan melakukannya dengan cara berbeda.

Pelayan restoran itu datang membawakan pesanannya. Dengan lahap ia memakan semua makanan yang dihidangkan dihadapannya. Ia tadi telah melewatkan jam makannya saat akan mendapatkan Sarah. Ia tahu konsekuensi dari langkah yang diambilnya saat ini, ia jadi harus menjalani hidup tidak teratur yang dapat berakibat buruk bagi tubuhnya. Untung saja, ia diberikan warisan yang cukup banyak untuk menyokong hidupnya untuk bertahun-tahun kedepan. Ia kembali tersenyum. Ini ketiga kalinya ia teringat akan ayahnya. Sayang sekali ayahnya tidak dapat bertahan hidup untuk melihat keberhasilannya.

Dari meja keempat didepannya, gadis penjual tiket yang bernama Tania itu bersiap-siap akan pergi. Ia tampak sibuk menelepon sembari membereskan barang bawaannya yang tercecer di mejanya. Ia mengambil kesempatan untuk bersiap-siap pergi juga saat Tania tidak memperhatikan. Ia sengaja berlama-lama membayar pesanannya. Ia menunggu Tania untuk keluar terlebih dahulu dari restoran itu.

Sepanjang perjalanan membuntuti Tania pulang, ia berusaha tidak menimbulkan suara dari sol sepatunya, ia juga menjaga jarak antara dirinya dan Tania. Ia membuntuti Tania hanya untuk mengetahui tempat tinggal gadis itu jika ia menimbulkan masalah pada dirinya.

Ia berhenti di ujung jalan yang tidak terlihat dari sudut dimana Tania berada. Ia mengawasi saat gadis itu memasuki rumahnya. Ia tinggal di lingkungan yang tidak cocok untuk perkembangan usianya. Dari pembicaraan yang pernah terjadi antara mereka berdua, ia tahu bahwa Tania tidak melanjutkan sekolahnya karena harus bekerja untuk membayar kesembuhan ibunya.

Cukup sampai disini. Aku tidak boleh membuat kesalahan terlihat di tempat ini.

Selamat malam, Tania. Hari ini adalah hari keberuntunganmu karena aku telah menemukan orang yang lebih pantas daripada dirimu.

Ia kembali menyusuri jalan yang tadi dilaluinya dengan berjalan kaki kembali ke tempat ia memarkir mobilnya di dekat Dreamland Theather. Ia terlalu terikat dengan tempat ini, secepatnya ia harus segera menjauh. Kini pikirannya terfokus pada Sarah, pekerjaannya telah menunggu, tenggat waktunya mulai menipis. Ia harus segera menyelesaikannya sebelum seseorang datang memburunya.

***

4 Delusi adalah kelainan psikologis seperti schizophrenia dan kelainan psikologis lainnya. Delusi menyebabkan halusinasi yang mempengaruhi pikiran seseorang dalam merasakan dan berpikir, sehingga otak meresponnya sebagai kejadian nyata yang sedang dialami oleh penderita.

Protected by Copyscape Web Plagiarism Checker

7 thoughts on “The Hangman – Chapter 4

  1. Omo! Onnie-ya!! Keren~
    anak kecil yg ibunya d bunuh ayahnya itu pasti si hangman! Ufff… Tania,moga di ga jd boneka marionet jg… Sarah kasian.. Moga gak jd… >,<
    *author : lho kok lu ngatur gue?
    *sy : mianhae!! Fufu
    Lanjutkan…! *sabar*

  2. ceritanya semakin berkembang ya…bagus,,ada masa lalu si pelaku…
    dan di otak saya udah ada beberapa kriteria tersangka…

    sedikit saran,,hmm untuk penyebutan nama kayanya lebih baik difokuskan ke satu saja misal nama depan ato nama belakang aja,,

    contoh :
    lanjut Mirrh…
    sela Abe…
    (tapi hanya sekedar saran loh,,kalo emg ga cocok abaikan saja) 😀

    Ganbatte!

    • selain lu, ada juga yang bilang gitu…
      tapi, maksud gw bikin begitu, jadi keliatan gitu karakternya itu hubungan kekerabatan sama orang yang disebut itu gimana…
      misal : Lutz manggil Nina, bukan Aparel (Manggil Aparel tuh hanya dalam situasi resmi aja) — karena Lutz kan udah ngerasa deket sama Nina, n anggap Nina sebagai anaknya sendiri…
      itu juga sama dengan waktu Lutz manggil Mirrh tu Abe, karena dy dah temenan dari dulu…
      mudah2an dimengerti…
      ^^v

Leave a reply to Hyunima Cancel reply